Kamis, 27 Desember 2012

Mengubah Paradigma Diskriminatif “DIFABEL”

“…mereka hidup bukan untuk mengemis belas kasihan orang lain, mereka mampu melakukan segala sesuatu akan tetapi dengan cara mereka sendiri #difabel”


BW. Purba Negara lewat filmnya “Bermula Dari A” (2011) bersama Limaenam Films berusaha mengubah paradigma diskriminasi terhadap difabel. Film ini mengisahkan persahabatan dua insan manusia yang sama-sama memiliki cacat secara fisik yang berbeda. 

Bagi laki-laki tunarungu-wicara, sang perempuan adalah lidah. Dan bagi perempuan tunanetra, sang laki-laki adalah mata. Hubungan yang biasa-biasa saja terjalin di antara mereka (sinopsis).

Hubungan yang terjalin diantara keduanya terlihat seperti layaknya orang-orang pada umumnya. Walaupun dengan cara mereka sendiri. Saling melengkapi kekurangan dengan kelebihan yang mereka miliki. Saling membantu dikala sahabat kita membutuhkan. 

Film tersebut terlihat berwarna walaupun dikemas dengan coloring hitam putih. “Tak perlu berwarna dan background musik yang macem-macem karena ceritanya pun sudah berwarna,” ungkap sang sutradara, BW. Purba Negara.

Selama menonton film tersebut dalam Jogja-Netpac Asian Film Festival tahun 2011 lalu seolah tidak ingin beranjak dan ingin menontonnya berulang-ulang karena film ini tidak biasa tetapi luar biasa. Isu yang diangkat menarik dan ada suatu usaha konstruktif untuk menunjukkan realitas difabel yang sebenarnya.

Dalam film ini pula tak lepas dengan konflik mengenai konsensus masyarakat (tanpa cacat fisik) tentang difabel. Ada satu scene antara sang perempuan yang diperankan oleh Natasya Putri Sastrosoemarto dengan sang Ibu. Ibu melarangnya untuk berteman dengan laki-laki tunarungu-wicara bernama Akbar yang diperankan oleh Bagus Suitrawan karena kekurangannya.

Bahkan dalam siaran-siaran televisi pun tak sedikit yang menggambarkan bahwa mereka para penyandang cacat (baca:difabel) butuh belas kasihan. Mereka dijadikan alat yang mengatasnamakan "humanisme" untuk meningkatkan rating program.

Membangun pengakuan masyarakat terhadap kaum difabel itulah yang masih menjadi PR besar bagi Negara kita. Akan menjadi sulit jika hanya berpangku tangan pada Negara. Fasilitas-fasilitas bagi mereka masih sangat minim. Dalam hal pekerjaan misalnya, mereka akan dipandang sebelan mata untuk bisa diterima dalam suatu perusahaan. 

Menunggu langkah konkrit dari Negara barangkali menjadi mimpi. Lebih baik mulai dari diri kita sendiri  untuk memberikan kontribusi dengan cara dan kemampuan kita masing-masing untuk mengubah paradigma diskriminasi terhadap difabel. Sehingga secara perlahan keberadaan mereka semakin diakui.

Waroeng Toeli yang berlokasi Jl. Langenarjan Lor 3 Panembahan Kraton, Yogyakarta adalah sebuah sanggar yang dibuat khusus untuk para tunarungu untuk mengembangkan bakatnya. Dan ada sebuah komunitas didalamnya yang bernama Deaf Art.

Sekarang mereka membangun SST atau Sekolah Semangat Tuli. Sekolah ini diresmikan pada 1 April 2012. Sekolah ini mengajarkan bahasa isyarat dan budaya di kalangan anak-anak dengan tunarungu pada masyarakat umum. Guru-guru SST adalah orang-orang dengan kekurangan pendengaran (sumber).

Berbagai hal dapat kita lakukan, entah gambar, tulisan, gerakan atau bahkan karya film seperti yang dilakukan oleh BW. Purba Negara melalui Bermula Dari A. Mereka para difabel pun berusaha melakukan aksi agar keberadaan mereka diakui. Lalu apa kontribusi kita?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar