3rd Generation of Multimedia

Senin, 24 Juni 2013

GERAKAN MAHASISWA TAK HARUS ANARKIS

"6 (enam)  mahasiswa prodi ilkom UMB Yogya mampu mengemas sebuah kampanye pemasaran sosial Gerakan Anti Plagiarisme menjadi sebuah kegiatan yang menarik dengan berbagai kreatifitas dan inovasi yang mereka miliki."
Dok. Oelfah Ct

Jogja, Akhir Juni 2013. Sebuah #GerakanAntiPlagiarism-Fikom2013 telah dikampanyekan oleh sekelompok kecil mahasiswa Ilmu Komunikasi. Septia Muslimah, Siti Ulfah, Anastasia Betty J. T., Intan Rakhmawati, Gina Faleri Efendi, dan Shandy Jessica tergabung dalam mata kuliah Pemasaran Sosial yang diampu oleh Ranggabumi Nuswantoro, S.Sos. Mereka mengungkan bahwa mereka perlu untuk mengkapanyekan hal tersebut karena tindak plagiat saat ini masih sulit untuk dikendalikan lajunya apalagi di tingkat mahasiswa. Hal ini juga berdasarkan data observasi awal yang telah dilakukan.

Melalui kreatifitas dan inovasi dari keenam mahasiswa tersebut, kamapanye pemasaran sosial #GerakanAntiPlagiarism-Fikom2013 dikemas melalui berbagai media, baik konvensional maupun digital. Walaupun sasarannya hanya terbatas dalam lingkup kecil internal yaitu seluruh mahasiswa Universitas Mercu Buana Yogyakarta baik yang berada di kampus 1 maupun kampus 2, setidaknya bentuk kampanye pemasaran sosial tersebut mampu membuktikan bahwa gerakan mahasiswa tak selalu hanya dapat dilaksanakan dengan jalan anarkis. 

Dok. Oelfah Ct
Salah satu bentuk kampanye #GerakanAntiPlagiarism-Fikom2013 yang unik adalah dibuatnya simbol kuburan mini yang terbuat dari kardus dibalut dengan kertas warna coklat. Diatasnya ditaburi bunga sehingga terlihat seperti sebuah kuburan yang sesungguhnya. Ditancapkan pula nisan yang terbuat dari sterofom bertuliskan “RIP PLAGIARISM #GerakanAntiPlagiarism-Fikom2013.” Miniatur tersebut diletakkan di Kampus 2 UMB Yogya depan kantin Bu Eka.

Shandy Jessica selaku inisiator kampanye pemasaran sosial ini mengatakan “Dalam kampanye ini juga diharapkan terjadinya suatu bentuk perubahan sesuai dengan konsep social marketing yakni mengubah pola pikir atau daya kognitif, sikap, atau afektif, serta untuk perubahan jangka panjang melalui tingkah laku atau behavior.”

Beberapa media konvensional dipilih sebagai sarana untuk mengampanyekan #GerakanAntiPlagiarism-Fikom2013. Beberapa poster sederhana bertuliskan himbauan untuk tidak melakukan tindak plagiarisme ditempel di titik-titik papan pengumuman yang ada. Salah satu tulisan dalam poster tersebut menyatakan “Who needs copy-paste? I am smart enough.” 

Dok. Inthan Intun
Selain melaui media cetak poster, mereka juga membagikan pembatas buku yang bertuliskan “I am not and never be a plagiarist, if someday I do I am ashamed of myself”. Dengan pernyataan yang sama seperti pada pembatas buku, mereka juga mencetak sebuah spanduk banner putih untuk menggalang dukungan dengan ajakan mengukirkan tanda tangan dan nama di atas spanduk putih tersebut.

Dok. Intan-Betty-Tia
Sosial media “twitter” pun mereka manfaatkan untuk mengkampanyekan #GerakanAntiPlagiarism-Fikom2013 melalui akun @GAP_FIKOM. Digitalisasi media terutama di Indonesia saat ini semakin marak. Sehingga mereka sebagai generasi muda tentunya tidak mau menyia-nyiakan kemudahan akses yang dimiliki. Namun, tetap juga menggunakan sarana media konvensional.

Dukungan penuh juga diberikan oleh kaprodi Ilmu Komunikasi ketika melihat berbagai kreatifitas kampanye sosial #GerakanAntiPlagiarism-Fikom2013 tersebut. "Mantep! Kalian semakin kritis. Jangan berhenti, terus berkampanye untuk kemajuan pendidikan. Buktikan, bahwa Fikom UMBY anti plagiarisme," ungkap Niken Puspitasari, S.IP., M.A.

Ditulis oleh : Siti Ulfah 

Rabu, 02 Januari 2013

Film, Realitas atau Konstruksi?

"Penghasilannya 300-400 ribu per minggu. Tak selamanya Pemulung itu miskin dan sengsara. Sudah menjadi rahasia umum bahwa profesi Pemulung itu dianggap pekerjaan yang rendahan. Apakah siaran TV dan Film yang mengatasnamakan humanisme adalah sebuah realitas atau hanya konstruksi semata?"

TPA Sampah Piyungan, Yogyakarta
 Bermula dari Naskah berjudul "Desah Kasih Bunda" karya Septia Muslimah, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana Yogyakarta sebagai tugas akhir mata kuliah Penulisan Skenario. Naskah tersebut ditulis berlatar belakang di daerah Bangka, atas riset kecil yang telah dilakukan oleh Sang Penulis di kampung halamannya. Hasilnya bahwa para pemulung di sana sangat sulit sekali hanya untuk memperoleh penghasilan kurang lebih dua puluh ribu saja.

Inti cerita dari Naskah "Desah Kasih Bunda" adalah tentang kisah perjuangan seorang ibu pemulung yang sengsara menjalani hidupnya. Seorang perempuan yang bekerja keras demi seorang anaknya hanya demi mencari sesuap nasi. Sedangkan suaminya telah meninggal dunia.

"Kisah tentang seorang perempuan yang ditelantarkan oleh suaminya itu sudah biasa, menurut saya menarik ketika benar-benar menunjukkan perjuangan seorang perempuan tangguh yang sudah ditinggal mati oleh suaminya dan berjuang sendiri demi anaknya," Ungkap Septia Muslimah selaku Penulis Naskah.

Dari kelas kecil mata kuliah Sinematografi yang diampuh oleh Greg Arya, yang saat ini masih aktif mengajar di ISI Jogja dan Editor Fourcolours Films. Jumlah mahasiswa dalam kelas kecil itu berjumlah enam orang mahasiswa yang semuanya adalah Diajeng (baca : perempuan). Dari kesepakan bersama, dipilihlah Naskah "Desah Kasih Bunda" tersebut untuk diproduksi sebagai tugas akhir mata kuliah Sinematografi. 

Naskah lain yang ditawarkan diantaranya, "Sentimental Masa Lalu" karya Siti Ulfah, "Merangkul Kecewa" karya Anastasya Betty Juliana Tobing, "Dulu Pahlawan Sekarng Pas-pasan" karya Intan Rakhmawati, "Cinta Untuk Tedy" karya Stepfanie Ria Ayu Diantika, dan "..." karya Rista Kustami Meganingrum.

Penunjuk Arah
Permasalahan mulai muncul karena perbedaan latar belakang lokasi yang mulanya di Bangka berpindah ke Jogja. Hasil riset yang didapat dari wawancara langsung dengan pemulung yang tinggal dan bekerja di Tempat Pembuanganm Akhir (TPA) Sampah Piyungan, Yogyakarta menunjukkan realitas yang berbeda dan unik ketika divisualisasikan dalam bentuk film. 

Tim Produksi yang tergabung dalam SKEMO (Sketch Motion) sedikit bimbang untuk tetap melanjutkan naskah yang sudah ada atau mengubah dan memberikan sedikit tambahan cerita untuk naskah tersebut. Siti Ulfah yang akan menjadi Sutradara untuk produksi film tersebut menawarkan pada tim apakah hanya ingin membuat film yang hanya berupa konstruksi atau film yang berupa realitas dan konstruksi?

Mbak Kus saat diwawancarai
Perempuan yang biasa dipanggil Mbak Kus ini mengungkapkan "Saya itu sudah pernah jadi buruh tani sampai marketing barang-barang elektronik, sampai akhirnya diajak suami saya untuk jadi pemulung. Awalnya jijik juga memungut sampah, tapi lama-lama juga biasa, penghasilannya pun lumayan bisa mencapai 300-400 ribu per minggunya." Tak heran jika mereka yang notabene menjadi pemulung tak mau berpindah profesi karena realitasnya menjadi pemulung lebih sejahtera.

Tim Produksi yang terdiri dari Siti Ulfah (Sutradara), Septia Muslimah (Script Writer), Intan Rakhmawati (DOP), Anastasia Betty Juliana Tobing (Artistik), Stepfanie Ria Ayu Diantika (Make Up & Wardrob), dan Rista Kustami Meganingrum (Music Director) sepakat untuk mengubah realitas pemulung dalam Naskah dan sedikit menambahkan 'bumbu-bumbu' karena berlatar belakang di Yogyakarta. Dan mengganti judul naskah menjadi "RATMI." Saat ini tim masih bekerja keras pada tahap pra produksi karena direncanakan produksi dilaksanakan pada awal bulan Januari.

Bagaimana realitas pemulung di Yogyakarta yang dikonstruksikan oleh Mahasiswa S1 Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana Yogyakarta tahun 2010 (baca : angkatan pertama) dalam sebuah visualisasi karya film yang akan dibuat?. Sekaligus sebagai langkah membangkitkan kembali nafas SKEMO (Sketch Motion) yang sudah vakum 1(satu) tahun lebih setelah produksi pertamanya, "Gunawan, Sang Pembaharu." 

Kamis, 27 Desember 2012

Mengubah Paradigma Diskriminatif “DIFABEL”

“…mereka hidup bukan untuk mengemis belas kasihan orang lain, mereka mampu melakukan segala sesuatu akan tetapi dengan cara mereka sendiri #difabel”


BW. Purba Negara lewat filmnya “Bermula Dari A” (2011) bersama Limaenam Films berusaha mengubah paradigma diskriminasi terhadap difabel. Film ini mengisahkan persahabatan dua insan manusia yang sama-sama memiliki cacat secara fisik yang berbeda. 

Bagi laki-laki tunarungu-wicara, sang perempuan adalah lidah. Dan bagi perempuan tunanetra, sang laki-laki adalah mata. Hubungan yang biasa-biasa saja terjalin di antara mereka (sinopsis).

Hubungan yang terjalin diantara keduanya terlihat seperti layaknya orang-orang pada umumnya. Walaupun dengan cara mereka sendiri. Saling melengkapi kekurangan dengan kelebihan yang mereka miliki. Saling membantu dikala sahabat kita membutuhkan. 

Film tersebut terlihat berwarna walaupun dikemas dengan coloring hitam putih. “Tak perlu berwarna dan background musik yang macem-macem karena ceritanya pun sudah berwarna,” ungkap sang sutradara, BW. Purba Negara.

Selama menonton film tersebut dalam Jogja-Netpac Asian Film Festival tahun 2011 lalu seolah tidak ingin beranjak dan ingin menontonnya berulang-ulang karena film ini tidak biasa tetapi luar biasa. Isu yang diangkat menarik dan ada suatu usaha konstruktif untuk menunjukkan realitas difabel yang sebenarnya.

Dalam film ini pula tak lepas dengan konflik mengenai konsensus masyarakat (tanpa cacat fisik) tentang difabel. Ada satu scene antara sang perempuan yang diperankan oleh Natasya Putri Sastrosoemarto dengan sang Ibu. Ibu melarangnya untuk berteman dengan laki-laki tunarungu-wicara bernama Akbar yang diperankan oleh Bagus Suitrawan karena kekurangannya.

Bahkan dalam siaran-siaran televisi pun tak sedikit yang menggambarkan bahwa mereka para penyandang cacat (baca:difabel) butuh belas kasihan. Mereka dijadikan alat yang mengatasnamakan "humanisme" untuk meningkatkan rating program.

Membangun pengakuan masyarakat terhadap kaum difabel itulah yang masih menjadi PR besar bagi Negara kita. Akan menjadi sulit jika hanya berpangku tangan pada Negara. Fasilitas-fasilitas bagi mereka masih sangat minim. Dalam hal pekerjaan misalnya, mereka akan dipandang sebelan mata untuk bisa diterima dalam suatu perusahaan. 

Menunggu langkah konkrit dari Negara barangkali menjadi mimpi. Lebih baik mulai dari diri kita sendiri  untuk memberikan kontribusi dengan cara dan kemampuan kita masing-masing untuk mengubah paradigma diskriminasi terhadap difabel. Sehingga secara perlahan keberadaan mereka semakin diakui.

Waroeng Toeli yang berlokasi Jl. Langenarjan Lor 3 Panembahan Kraton, Yogyakarta adalah sebuah sanggar yang dibuat khusus untuk para tunarungu untuk mengembangkan bakatnya. Dan ada sebuah komunitas didalamnya yang bernama Deaf Art.

Sekarang mereka membangun SST atau Sekolah Semangat Tuli. Sekolah ini diresmikan pada 1 April 2012. Sekolah ini mengajarkan bahasa isyarat dan budaya di kalangan anak-anak dengan tunarungu pada masyarakat umum. Guru-guru SST adalah orang-orang dengan kekurangan pendengaran (sumber).

Berbagai hal dapat kita lakukan, entah gambar, tulisan, gerakan atau bahkan karya film seperti yang dilakukan oleh BW. Purba Negara melalui Bermula Dari A. Mereka para difabel pun berusaha melakukan aksi agar keberadaan mereka diakui. Lalu apa kontribusi kita?